Zakat merupakan sumber dana potensial yang dapat dimanfaatkan sebagai upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Pelaksanaan ibadah zakat melibatkan sejumlah kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan harta benda sejak pengumpulan, pendistribusian, pengawasan, pengadministrasian, dan pertanggung jawaban harta zakat. Oleh sebab itu pelaksanaan ibadah zakat tersebut memerlukan suatu manajemen yang baik sehingga dapat meningkatkan peranan dan fungsi zakat dalam mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial.

Secara harfiah, manajemen berasal dari kata " to manage " yang berarti mengatur, mengurus atau mengelola. Istilah manajemen sendiri berarti sebagai proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan usahausaha para anggota organisasi dan penggunaan sumber daya-sumber daya organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan.[1]

Jadi manajemen zakat merupakan kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pelaksanaan dan pengawasan terhadap pengumpulan, pendistribusian, pendayagunaan serta pertanggungjawaban harta zakat agar harta zakat tersebut dapat diserahkan kepada orang-orang yang berhak menerimannnya dengan aturan-aturan yang telah ditentukan dalam syara' sehingga dapat tercapai misi utama zakat yaitu untuk mengentaskan kemiskinan. 

Untuk menciptakan pengelolaan zakat yang baik, maka diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu, yaitu:

a. Kesadaran masyarakat akan makna, tujuan serta hikmah zakat;
b. Amil zakat benar-benar orang-orang yang terpercaya, karena masalah zakat adalah masalah yang sensitif. Oleh karena itu dibutuhkan adanya kejujuran dan keikhlasan dari amil zakat untuk menumbuhkan adanya kepercayaan masyarakat kepada amil zakat;
c. Perencanaan dan pengawasan atas pelaksanaan pemungutan zakat yang baik dan profesional.[2]

Pada tanggal 23 September 1999, Presiden B. J. Habibie mengesahkan UU RI No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Secara garis besar undang-undang tersebut memuat aturan-aturan tentang pengelolaan dana zakat yang terorganisir dengan baik, transparan dan professional yang dikelola oleh amil yang resmi ditunjuk oleh pemerintah.

Untuk melaksanakan undangundang tersebut, kemudian pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Agama RI No. 581 tahun 1999 yang mulai berlaku padam tanggal 13 Oktober 1999. Bahwa di dalam undang-undang tersebut disebutkan tentang pengertian, asas, tujuan dan organisasi pengelola zakat, yaitu:

1. Pengertian pengelolaan zakat yang terdapat dalam Pasal 1 (ayat 1 dan 2), yaitu:
Pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian serta pendayagunaan zakat. (ayat 1).

Kemudian pengertian zakat menurut undang-undang tersebut adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki seorang muslim dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya. (ayat 2)[3]

2. Asas pengelolaan, yang terdapat dalam pasal 4, yaitu Bahwa pengelolaan zakat berasaskan iman dan taqwa, keterbukaan dan kepastian hukum sesuai dengan Pancasila dan UUD ’45. (Pasal 4)

3. Tujuan pengelolaan zakat, yang terdapat dalam pasal 5, yaitu:

Meningkatnya pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat, sesuai dengan tuntunan agama;
Meningkatnya fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial;
Meningkatnya hasil guna dan daya guna zakat. (pasal 5)

4. Organisasi pengelola zakat

Dalam Bab III pasal 6 dan 7 UU No. 38 tahun 1999, menyatakan bahwa lembaga pengelola zakat di Indonesia terdiri atas 2 kelompok institusi, yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Bahwa BAZ dibentuk oleh pemerintah sedangkan LAZ dibentuk oleh masyarakat.[4]

Amil zakat merupakan orang-orang yang terlibat atau ikut aktif dalam kegiatan pelaksanaan zakat yang dimulai dari sejak mengumpulkan atau mengambil zakat dari muzakki sampai membagikannya kepada mustahiq. Seperti yang terdapat dalam surat At-Taubah ayat 103, yaitu:

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. At- Taubah : 103)

Pelaksanaan ibadah zakat melibatkan sejumlah kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan harta benda sejak pengumpulan, pendistribusian, pengawasan, pengadministrasian dan pertanggungjawaban tentang harta zakat. Bahwa orang-orang yang ditunjuk sebagai amil zakat harus mempunyai beberapa syarat, yaitu:

1. Beragama Islam;
2. Mukallaf;
3. Memiliki sifat amanah/jujur;
4. Memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya;
5. Mengerti dan memahami hukum-hukum zakat sehingga dia mampu melakukan sosialisasi kepada masyarakat yang berkaitan dengan masalah zakat.

Berdasarkan pasal 22 Keputusan Menteri Agama RI No. 581 tahun 1999, dikemukakan bahwa lembaga amil zakat harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu:

1. Berbadan hukum;
2. Memiliki data muzakki dan mustahiq;
3. Memiliki program kerja yang jelas;
4. Memiliki pembukuan yang baik;
5. Melampirkan surat pernyataan bersedia diaudit.[5]

Bahwa secara garis besar kegiatan amil zakat meliputi:

1. Pendataan para wajib zakat (muzakki);
2. Menentukan bentuk wajib zakat dan besarnya zakat yang harus dikeluarkan;
3. Mengambil zakat dari para muzakki;
4. Mendoakan orang yang membayar zakat;
5. Menyimpan, menjaga dan memelihara harta zakat sebelum dibagikan kepada mustahiq;
6. Mencatat nama-nama mustahiq;
7. Menentukan prioritas mustahiq;
8. Menentukan besarnya bagian yang akan diberikan kepada para mustahiq;
9. Membagikan harta zakat kepada para mustahiq;
10. Mencatat dan mengadministrasikan semua kegiatan pengelolaan tersebut serta mempertanggungjawabkannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
11. Mendayagunakan harta zakat;
12. Mengembangkan harta zakat.[6]

Untuk mewujudkan fungsi zakat yang strategis, maka manajemen suatu lembaga amil zakat harus bisa diukur dengan 3 hal, yaitu:
1. Amanah, Sifat amanah merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki oleh setiap amil zakat. Terlebih dana yang dikelola oleh amilzakat tersebut adalah hak milik dari mustahiq. Karena muzakki setelah memberikan dananya kepada amil zakat tidak ada keinginan sedikitpun untuk mengambil dananya lagi. Sehingga kondisi tersebut menuntut dimilikinya sifat amanah dari para amil zakat.
2. Profesional, Bahwa dengan sistem profesional yang tinggi membuat danadana yang dikelola akan menjadi efektif dan efisien. Setiap amil harus berperilaku konsisten dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi. Kewajiban untuk menjauhi tingkah laku yang dapat mendiskreditkan profesi harus dipenuhi oleh amil sebagai perwujudan tanggung jawabnya kepada muzakki, mustahiq, mitra, sesama amil dan masyarakat pada umumnya.
3. Transparan,  Dengan transparannya pengelolaan zakat, maka akan menciptakan suatu sistem kontrol yang baik. Karena hal ini tidak hanya melibatkan pihak intern organisasi saja tetapi juga melibatkan pihak ekstern seperti para muzakki maupun masyarakat luas. Sehingga dengan transparansi inilah rasa curiga dan ketidakpercayaan masyarakat akan dapat diminimalisasi.[7]

Adapun beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dari pengelolaan zakat yang dilakukan oleh pengelola zakat yang mempunyai kekuatan hukum formal, yaitu:

Untuk menjamin kepastian dan disiplin dalam membayar zakat;
Untuk menjaga perasaan para mustahiq zakat apabila berhadapan langsung untuk menerima zakat dari para muzakki;
Untuk mencapai efisien dan efektifitas serta sasaran yang tepat dalam penggunaan harta zakat menurut skala prioritas;
Untuk memperlihatkan syi’ar Islami.[8]

Di samping lembaga amil zakat, ada lagi sebuah lembaga yang mempunyai tugas yang sama dengan amil zakat yaitu baitul mal. Bahwa baitul mal tersebut terbagi menjadi 4 macam, yaitu:
1. Baitul mal yang khusus mengelola zakat;
2. Baitul mal yang khusus mengelola pajak yang ditarik dari non muslim;
3. Baitul mal yang khusus mengelola harta rampasan perang dan barang temuan (rikaz). Menurut pendapat ulama, bahwa barang temuan tersebut tidak jatuh pada tangan penemunya tetapi dikuasai oleh negara, sehingga berang tersebut tidak wajib dizakati;
4. Baitul mal yang khusus mengelola harta benda yang tidak diketahui pemiliknya, termasuk harta peninggalan orang yang tidak punya ahli waris.[9]

Bahwa di dalam undang-undang disebutkan ada 2 jenis zakat yang harus dikeluarkan oleh muzakki, yaitu:

1. Zakat fitrah, yaitu zakat yang wajib dikeluarkan oleh setiap muslim di bulan ramadhan menjelang shalat Idul Fitri.
2. Zakat maal (zakat harta), yaitu zakat yang dikeluarkan dari kekayaan atau sumber kekayaan itu sendiri.

Adapun jenis-jenis harta yang dikenai zakat adalah:

Emas, perak dan uang;
Perdagangan dan perusahaan;
Hasil pertanian, hasil perkebunan dan hasil perikanan;
Hasil pertambangan;
Hasil peternakan;
Hasil pendapatan dan jasa (zakat profesi);
Barang temuan/rikaz.

Penghitungan zakat maal disesuaikan dengan nishab, kadar dan waktunya ditetapkan berdasarkan hukum agama. Pengumpulan dikelola oleh amil zakat dengan cara menerima/mengambil dari muzakki atas dasar pemberitahuan muzakki. Badan amil zakat dapat bekerjasama dengan bank dalam pengumpulan zakat harta muzakki yang berada di bank atas permintaan muzakki. Tata cara pengumpulan dana zakat dilakukan dengan cara pemungutan atau pemotongan yang sebelumnya telah disepakati oleh instansi.

Dari hasil pengumpulan zakat tersebut kemudian didayagunakan untuk orangorang yang berhak menerima zakat (mustahiq), sebagaimana firman Allah SWT dalam surat At-Taubah ayat 60, yaitu:

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاآِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِالسَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

 “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orangorang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang di bujuk hatinya untuk (memerdekakan) budak, orang yang berhutang untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

1. Fakir, yaitu orang-orang yang tidak mempunyai harta atau penghasilan yang layak untuk memenuhi kebutuhan pokoknya baik untuk dirinya sendiri maupun untuk keluarganya.
2. Miskin, yaitu orang yang mempunyai penghasilan tetap tetapi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.[10]
3. Amil, yaitu orang-orang yang bekerja dalam pengumpulan zakat dan pendistribusiannya. Amil zakat berhak memperoleh bagian sesuai dengan standar yang didasarkan pada kompetensi pekerjaannya. Namun diharapkan bagiannya sama dengan bagian mustahiq yang lainnya. Lebih baik amil zakat adalah pihak yang sudah digaji oleh sumber dana bukan zakat.
4. Muallaf, yaitu orang yang belum lama masuk Islam, belum kuat Iman dan Islamnya. Orang ini berhak menerima zakat dengan tujuan agar Iman dan Islamnya menjadi kuat.[11]
5. Riqab (budak), yaitu budak yang telah dijanjikan oleh tuannya akan merdeka bila telah melunasi harga dirinya yang telah ditetapkan. Oleh karena itu mereka dibantu dengan harta zakat untuk membebaskan mereka dari belenggu perbudakan.[12]
6. Gharim, yaitu orang-orang yang mempunyai hutang dan tidak mempunyai bagian lebih dari hutangnya, baik atas hutang untuk kemaslahatan dirinya sendiri maupun untuk kemaslahatan masyarakat.
7. Fisabilillah, yaitu orang-orang yang berjuang dijalan Allah dengan tujuan untuk mendapatkan keridhaan dari Allah baik berupa ilmu maupun amal perbuatan.
8. Ibnu Sabil, yaitu orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanan karena kehabisan biaya. Adapun pendayagunaan zakat tersebut harus dilakukan berdasarkan persyaratan sebagai berikut:

Hasil dari pendataan dan penelitian harus sesuai dengan kebenaran jumlah 8 (delapan) golongan mustahiq zakat;
Mendahulukan orang-orang yang paling tidak berdaya memenuhi kebutuhan dasar secara ekonomi dan sangat memerlukan bantuan;
Mendahulukan mustahiq dalam wilayahnya masing-masing.

Bahwa lembaga yang mengelola zakat seperti badan amil zakat ataupun lembaga amil zakat bisa berdiri sendiri atau merupakan bagian dari organisasi sosial keagamaan maupun pemerintah daerah. Jadi dalam hal ini peran amil zakat yang proaktif sangat penting yaitu mulai dari pendataan, mendatangi dan menerangkan kepada muzakki tentang pentingnya membayar zakat. 

Pengelolaan zakat di zaman modern seperti sekarang ini sebaiknya ditangani oleh orang-orang yang beriman, berakhlak mulia, berpengetahuan yang luas dan berketrampilan manajemen yang modern dengan perencanaan yang matang, yang jelas tujuannya dan jelas juga dengan hasil-hasil yang ingin dicapainya, agar dapat menciptakan kewibawaan dari para pengurus zakat dan meningkatkan kepercayaan dari masyarakat. Jadi dengan hadirnya undang-undang zakat tersebut diharapkan dapat memberikan semangat kepada pemerintah dalam menangani masalah pengelolaan zakat.

________________________________________
[1] T. Hani Handoko, Manajemen, Yogyakarta, BPFE-Yogyakarta, 1986, Cet. 1, hlm. 8 
[2] Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, op. cit, hlm. 268
[3] Undang-undang RI No. 38 tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat, Pasal 1
[4] Heri Sudarsono, Bank Dan Lembaga Keuangan Syari’ah (Deskripsi dan Ilustrasi), Ekonisia, Yogyakarta, 2003, Cet. 1, hlm. 240-241
[5] Keputusan Menteri Agama RI No. 581 Tahun 1999 Tentang Pelaksanaan UU No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat
[6] Suparman Usman, Hukum Islam “ Asas-asas Pengantar Studi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia“, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2002, Cet. 2, hlm. 162
[7] Sholahuddin, Ekonomi Islam, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2006, Cet. 1,
hlm. 236
[8] Didin Hafidhudin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, Jakarta, Gema Insani Press, 2002, hlm. 126
[9] Masfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah (Kapita Selekta Hukum Islam), PT. Toko Gunung Agung, Jakarta, 1997, Cet. 10, hlm. 256
[10] Ahmad Rofiq, Fiqh Kontekstual (Dari Normatif Ke Pemaknaan Sosial), Yogyakarta, Pustaka Pelajar Offset, 2004, Cet. 1, hlm. 279
[11] Musthafa Diibu Bigha, Fiqih Menurut Mazdhab Syafi’i, Penerbit Cahaya Indah, Semarang, hlm. 142
[12] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 3, Al-Ma’arif, Bandung, 1997, Cet. 11, hlm. 97-98