THAHARAH ( Menurut 4 Mazhab )
Oleh : Kasau, S.Th.a. Tayamum
1. Pengertian Tayamum
Menurut bahasa tayamum adalah menyengaja. Sebagaimana firman allah :
ولاتيممواالخبيث منه تنفقون (البقرة :267)
“Dan jangalah kamu bermaksud sengaja ( memilih )yang buruk lalu kamu menafkahkan dari padanya (Qs. Al-baqarah 267).
Sedangkan menurut istilah tayamum adalah menyengaja menggunakan tanah untuk mengusap wajah dan kedua tangan dengan niat supaya diperbolehkannya shalat dan ibadah yang lain. Pengertian lain mengenai tayamum secara istilah adalah mengusap muka dan kedua tangan dengan menggunakan debu yang mensucikan menurut cara yang khusus.
2. Dasar diberlakukannya tayamum
Pensyari’atan tayamum itu terdapat dalam al-qur’an hadits dan ijma’. Adapun ketetapan yang terdapat dalam al-qur’an adalah firman allah:
وإن كنتم مرضى أوعلى سفر أوجاء أحد منكم من الغا ئط اولامستم النساء فلم تجدوا ماء فتيمموا صعيدا طيبا فمسحوا بوجوهكم وأيديكم منه. ما يريدالله ليجعل عليكم من حرج (المائدة : 6)
“Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air besar atau menyentuh perempuan lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih, suci); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu.” (Q.S Al-maidah 5:6)
3. Sebab diperbolehkannya tayamum
Setiap sesuatu perkara ataupun kejadian itu pasti mempunyai sebab, dalam islam namanya hukum wadz’i atau bisa disebut hukum sebab akibat. Begitupula dengan tayamum, tayamum disyari’atkan mempunyai beberapa sebab diantaranya adalah:
a. Apabila tidak ada air
Apabila tidak ada air untuk bersuci. Dalam artian tidak mendapatkan air sama sekali, atau ada air akan tetapi tidak mencukupi untuk dibuat bersuci.
Menurut golongan Syafi’iyah dan Hanabilah bahwa apabila ia mendapatkan air yang tidak cukup dipakai bersuci maka ia wajib menggunakan sekedarnya untuk sebagian anggota wudhu’kemudian hendaknya bertayamum untuk anggota yang lainnya.
Menurut madzhab Hanafi orang yang bukan berada dalam perjalanan dan ia sehat( tidak sakit ), maka ia tidak boleh bertayamum dan tidak boleh pula shalat kalau tidak ada air. Madzhab Hanafi mengemukakan pendapat itu berdasarkan ayat 8, surat Al-Maidah:
“......Bila kamu sakit atau berada dalam perjalanan, atau salah seorang di antara kamu dari tempat buang air besar (jamban) atau menyentuh perempuan (menyetubuhinya) , lalu kamu tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah......”
Menurut Malikiyah mereka berkata bahwa seorang yang tidak mendapatkan air, yang bukan dalam bepergian dan dalam keadaan sehat itu tidak boleh untuk melakukan shalat kecuali shalat nafilah terkecuali apabila shalat nafilahnya itu mengikuti yang fardhu. Berbeda halnya dengan orang musafir dan orang yang sakit.
b. Tidak mampu menggunakan air
Tayamum diperbolehkan ketika tidak mampu menggunakan air atau dalam keadaan membutuhkan air. Misalnya ia mendapatkan air yang cukup untuk dipakai bersuci, akan tetapi ia tidak mampu menggunakanya, ataupun ia mampu menggunakan air tersebutakan tetapi ia membutuhkan untuk minum dan lain sebagainya.
c. Ketika dalam keadaan sempitnya waktu shalat
Ketika mampu menggunakan air untuk wudhu’ ataupun mandi akan tetapi takut jika waktu shalat itu habis hanya untuk mencari air.
d. Ketika adanya bahaya
Ketika ada air untuk wudhu’ dan mandi akan tetapi dia takut terhadap sesuatu yang membahayakan harta dan jiwanya. Ketika air sangat dingin dan dia menyangka adanya bahaya ketika menggunakan air tersebut
Apabila tidak ada air untuk bersuci. Dalam artian tidak mendapatkan air sama sekali, atau ada air akan tetapi tidak mencukupi untuk dibuat bersuci.
Menurut golongan Syafi’iyah dan Hanabilah bahwa apabila ia mendapatkan air yang tidak cukup dipakai bersuci maka ia wajib menggunakan sekedarnya untuk sebagian anggota wudhu’kemudian hendaknya bertayamum untuk anggota yang lainnya.
Menurut madzhab Hanafi orang yang bukan berada dalam perjalanan dan ia sehat( tidak sakit ), maka ia tidak boleh bertayamum dan tidak boleh pula shalat kalau tidak ada air. Madzhab Hanafi mengemukakan pendapat itu berdasarkan ayat 8, surat Al-Maidah:
“......Bila kamu sakit atau berada dalam perjalanan, atau salah seorang di antara kamu dari tempat buang air besar (jamban) atau menyentuh perempuan (menyetubuhinya) , lalu kamu tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah......”
Menurut Malikiyah mereka berkata bahwa seorang yang tidak mendapatkan air, yang bukan dalam bepergian dan dalam keadaan sehat itu tidak boleh untuk melakukan shalat kecuali shalat nafilah terkecuali apabila shalat nafilahnya itu mengikuti yang fardhu. Berbeda halnya dengan orang musafir dan orang yang sakit.
b. Tidak mampu menggunakan air
Tayamum diperbolehkan ketika tidak mampu menggunakan air atau dalam keadaan membutuhkan air. Misalnya ia mendapatkan air yang cukup untuk dipakai bersuci, akan tetapi ia tidak mampu menggunakanya, ataupun ia mampu menggunakan air tersebutakan tetapi ia membutuhkan untuk minum dan lain sebagainya.
c. Ketika dalam keadaan sempitnya waktu shalat
Ketika mampu menggunakan air untuk wudhu’ ataupun mandi akan tetapi takut jika waktu shalat itu habis hanya untuk mencari air.
d. Ketika adanya bahaya
Ketika ada air untuk wudhu’ dan mandi akan tetapi dia takut terhadap sesuatu yang membahayakan harta dan jiwanya. Ketika air sangat dingin dan dia menyangka adanya bahaya ketika menggunakan air tersebut
4. Debu yang digunakan tayamum
Pada dasarnya imam madzhab sama dalam menentukan alat tayamum yaitu tanah yang suci, akan tetapi dalam menentukan sifat dan hakikat tanah yang suci “ash-shaid” , mereka berbeda pendapat. Dalil yang menunjukkan debu yang digunakan untuk tayamum adalah firman allah surat An-Nisa’ ayat 42
......فتيمموا صعيدا طيبا.....
"…..bertayamumlah kalian semua dengan debu yang suci”
Syafi’iyah dan Hanabilah; maksud dari “ash-shaid” adalah “at-turab” (tanah). Oleh karena itu , tidak boleh bertayamum kecuali dengan tanah yang suci atau dengan pasir berdebu.
Hanafiah dan Malikiyah; “ash-shaid” adalah “al-ardh” (tanah). Oleh karena itu, boleh bertayamum dengan tanah dan segala macam bagiannya, walaupun dengan batu yang tidak bertanah dan pasir yang tidak berdebu.
Malikiyah menambahkan; boleh bertayamum dengan apa saja yang berkaitan dengan bumi, seperti tumbuh-tumbuhan.
5. Tata cara tayamum
Pada dasarnya inti dari tayamum adalah mengusap wajah dan tangan, akan tetapi dalam menentukan syarat rukunya para imam madzhab berbeda pendapat. Seperti yang dikemukakan imam-imam berikut ini :
Malikiyah : rukun tayamum menurut mereka ada empat :
a. Niat.
b. Menepakan tangan yang pertama.
c. Meratakan wajah dan kedua tangan dengan debu.
d. Muwalat.
Hanabilah : mereka berpendapat bahwa rukun tayamum adalah :
a. Mengusap mengusap seluruh bagian wajah selain yang ada di dalam mulut dan di dalam telinga, dan selain di bawah rambut (jenggot) yang tipis.
b. Mengusap kedua tangan hingga di kedua pergelangan.
c. Tertib.
d. Muwalat untuk tayamum yang disebabkan karena hadats kecil.
Syafi’iyah : mereka berpendapat bahwa tayamum itu ada tujuh yaitu :
a. Niat
b. Mengusap wajah
c. Mengusap kedua tangan sampai kedua siku
d. Tertib
e. Memindahkan debu pada anggota tubuh
f. Tanah yang mensucikan dan berdebu
g. Sengaja memindahkan debu tersebut pada anggota tayamum
Hanafiah : mereka berpendapat rukun tayamum itu ada dua yaitu :
a. Mengusap
b. Dua kali menepak pada debu
Niat dan ini didalam tayamum mempunyai cara khusus yang dapat dirinci menurut pendapat berbagai madzhab. Hanafiyah dan Hanabilah: mereka berkata bahwa niat merupakan syarat didalam tayamum bukan sebagai rukun. Malikiyah: jika ia berniat untuk menghilangkan hadats saja, maka tayamum itu batal, karena tayamum menurut mereka tidak dapat menghilangkan hadats.
Hanafiyah: mereka berkata bahwa niat tayamum yang sah digunakan untuk shalat itu disyaratkan hendaknya orang tersebut berniat dengan salah satu dari tiga hal berikut:
a. Berniat untuk bersuci dari hadats yang ia lakukan.
b. Berniat agar diperbolehkannya shalat.
c. Berniat untuk melakukan suatu ibadah maqshudah (ibadah yang sengaja diperintahkan)
Syafi’iyah berpendapat bahwa seorang yang bertayamum wajib berniat agar boleh melaksanakan shalat dan yang semacamnya. Imam Syafi’i merinci tentang niat tayamum sebagai berikut :
a. Apabila berniat untuk melakukan ibadah fardhu, maka tayamum tersebut juga bias untuk ibadah nafilah dan sunah.
b. Apabila berniat untuk melakukan ibadah nafilah, maka tayamum tersebut tidak bias digunakan untuk ibadah fardhu.
6. Ibadah-ibadah yang diperbolehkan menggunakan tayamum
Pada pembahasan ini, ulama’ berbeda pendapat tentang penggunaan tayamum untuk shalat. Menurut pendapat Malikiyah yang masyhur, satu kali tayamum berlaku untuk dua kali shalat fardhu. MenurutAbu Hanifah boleh menjamak beberapa shalat wajib dengan satu kali tayamum. Menurut imam Syafi’i, Malliki, dan Hambali: tidak boleh mengerjakan dua shalat fardhu dengan satu tayamum, baik bagi orang yang musafir ataupun yang mukim. Hukum tayamum sama dengan hukum wudhu’, yaitu bisa menjadikan sahnya melakukan ibadah dengan tayamum, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Dzar r.a
أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : " أن الصعيد طهور مسلم, وإن لم يجد الما، عشر سنين, فإذا وجد الماء فليمسه بشرته فإن ذالك خير" رواه أحمد و الترمذي
7. Beberapa hal yang membatalkan tayamum
Para fuqaha’ bersepakat bahwa hal yang membatalkan tayamum adalah sebagai berikut :
a. Perkara yang membatalkan wudhu’.
b. Menemukan air diluar waktu shalat.
c. Murtad. (mauquf)
Madzhab hanabilah menambahkan perkara yang membatalkan tayamum, yaitu keluarnya waktu shalat. Madzhab syafi’iyah berpendapat mengenai hal yang membatalkan tayamum yaitu :
a. Terjadinya riddah (keluar agama Islam), walaupun dalam bentuknya saja, seperti murtadnya anak kecil (belum cukup usia).
b. Hilangnya udzur yang memperbolehkannya tayamum. Sebelum ia menyempurnakan takbiratul ihramnya.
Rukun tayamum
Hanafi Maliki Syafi’I Hanbali
Niat Rukun Rukun
Mengusap wajah Rukun Rukun Rukun
Mengusap tangan sampai siku Rukun Rukun Rukun
Tertib Rukun Rukun
Memindahkan debu pada anggota tubuh Rukun
Tanah yang mensucikan dan berdebu Rukun
Sengaja memindahkan debu pada anggota tayamum Rukun
Muwlat Rukun Rukun